[Event] From Adhitia Sofyan with Love

20150220_190627Banyak orang mengenal Adhitia Sofyan mungkin dari lagunya “Adelaide Sky” yang menjadi soundtrack film “Kambing Jantan” yang popular pada tahun 2009. Tapi sebenarnya ia telah mengawali karir bermusiknya dengan merilis proyek solo pada tahun 1999 dan telah diputar oleh radio di Bandung pada tahun itu. Karir bermusiknya memang tidak semulus musisi major, namun semenjak itu ia telah konsisten dalam jalur musiknya; folk. Ia telah merilis 3 album, yaitu Quiet Down (2009), Forget Your Plans (2010), How to Stop Time (2012), dan 2 EP; I’m Not Getting Any Slimmer, So Here We Go… (2008) dan Live From His Bedroom (2008). Ia juga tak sungkan membagikan lagu-lagunya secara gratis lewat blognya www.adhitiasofyan.wordpress.com.

Jum’at, 20 Februari lalu, @atamerica kembali menyuguhkan sebuah mini konser yang selalu berkesan bagi para pengunjungnya, dimana saat itu Adhitia Sofyan adalah musisi yang dihadirkan. Malam itu Adhitia Sofyan tidak tampil sendiri dengan gitarnya saja, tapi juga ditemani oleh Kristian Dharma pada bass, Jessi Mates pada drum, dan Jonathan Palempung pada kibor.

Ada total 12 lagu yang dibawakannya menghibur audiens yang memenuhi ruangan. Ia memulai mini konser dengan lagu 20150220_192138yang berjudul September, lalu berlanjut dengan sebuah lagu yang lembut tentang hingar-bingar kota berjudul Forget Jakarta. Di sela selesainya lagu ia sesekali bercerita tentang proses kreatif dan pengalamannya. Ia menceritakan bahwa ia telah menciptakan banyak lagu tentang cinta, termasuk banyak pula tentang patah hati dan kesedihan. Ia juga bercerita bahwa kebanyakan lagu-lagu yang diciptakannya berawal dari bagian gitar terlebih dahulu. Ia biarkan petikan gitar mengalir begitu saja walaupun ia tidak tahu lagunya nanti seperti apa.

Suasana musim hujan masih terasa, ia pun menyanyikan dua lagu tentang hujan. Satu-satunya lagu yang berbahasa Indonesia pada mini konser tersebut adalah lagu anak-anak yang berjudul Tik Tik Bunyi Hujan yang dikemas dengan syahdu dan lebih bermelodi. Lalu lagu tentang hujan selanjutnya adalah After the Rain. Lagu yang paling mengharukan pada malam itu adalah lagu tentang kehilangan seseorang yang berjudul Mother. Tapi lagu tersebut tidak terjebak kesenduan emosi dan kehilangan, tapi liriknya malah memantik semangat bahwa walaupun orang yang dicintai telah pergi, tapi lihatlah langit dan ceritakan kegelisahanmu seolah orang yang dirindukan ada di atas sana, lalu bilang semua baik-baik saja. Bagian yang paling menggetarkan dari lagu ini adalah hentakannya di penghujung lagu, perpaduan drum dan gitar yang menggugah.

20150220_193344Penampilan Adhitia Sofyan dengan kepiawaian liukan syahdu petikan gitarnya dan bandnya yang tampil apik masih terus berlanjut dengan World Without A Sky, The Stalker, W.Y.L., Tokyo Lights Fade Away, lagu yang paling ditunggu yang membuat audiens ikut bernyanyi sambil tersenyum-senyum Adelaide Sky, Into You, dan Blue Sky Collapse. Melihat penampilan Adhitia Sofyan mengingatkan saya pada John Mayer, Beck, Bon Iver, Ryan Bingham, Bob Dylan dan sedikit aura musik Bruce Springsteen. Menyenangkan sekali bisa melihat musisi yang benar-benar bisa bersenang-senang dengan musiknya.

[Resensi Album] Album Vakansi – White Shoes & the Couples Company

Album Vakansi adalah album kedua White Shoes and The Couples Company (WSATCC) yang telah dirilis 2010 lalu. Meskipun sudah cukup lama, tapi gaungnya masih terdengar di kalangan pecinta musik sampai sekarang. Albumnya pun masih diminati di toko musik “umum”, mengingat mereka adalah musisi indie. Bukti bahwa karya yang “istimewa” tidak ada urusan dengan waktu dan posisi.

Seperti album-album sebelumnya, gaya vintage sebagai ciri khas masih bertahan di lagu-lagu mereka, juga pada pengemasan album, gaya ketika mereka tampil dan aksesoris. Album ini dirilis lewat label “purapurarecord” bekerja sama dengan “Demajors” (sebelumnya mereka ada di bawah bendera Aksara Record hingga label yang sempat memberi angin segar di dunia musik Indonesia tersebut tutup pada tahun 2009).

Album Vakansi bersisi 13 lagu. Seperti judul albumnya, mendengarkan album ini terasa sekali suasana liburannya. Suasana musim panas, deru kendaraan, sepoi angin, lirik-lirik yang seolah mengajak singgah sebentar dari kesibukkan, serta aransemennya yang seru dan cerah. Gairah liburan tersebut langsung terasa di lagu pembuka yang pendek seperti intro yang berjudul “Berjalan-Jalan”, bertutur tentang perjalanan keliling nusantara dan manca negara. Hanya perlu suara Sari sang vokalis dan bunyi-bunyian deru kendaraan dan semilir angin di lagu ini. Lembut dan syahdu.

Sementara di “Zamrud Khatulistiwa”, mereka mengajak kita selain bersenang-senang dengan liburan 20150216_232016yang kita punya, berjalan-jalan keliling Indonesia, upload dokumentasi ke media sosial, juga mengingatkan tentang keruh udara, pohon-pohon yang mulai habis dan hutan yang gundul. Mereka menegaskan, inikah yang kau inginkan, manusia? Setelah suguhan intro yang imajinatif di “Berjalan-Jalan”, mendengarkan “Zamrud Khatulistiwa” seperti menonton sebuah pembukaan film. Genderang yang bergemuruh dan memantik telinga, harmoni petikan gitar elektrik, gitar akustik, synthesizer, serta vokal latar yang serasi dengan lirik yang dinyanyikan Sari.

“Senja Menggila” menceritakan tentang riuhnya hidup di perkotaan, orang-orang yang terkena rayuan kota, kerasnya hidup yang tergambar dalam lirik yang sesederhana “….mengumpulkan rejeki…untuk sesuap nasi”. Selain kepiawaian masing-masing personil dengan instrumennya, di lagu ini juga bisa didengar dukungan violin, terompet, saksofon alto, saksofon tenor, trombon, flute dan perkusi yang tak kalah ramai. Beberapa lagu lain pun mendapat asupan instrumen-instrumen tersebut yang dimainkan oleh para sahabat WSATCC.

“Selangkah ke Seberang” adalah lagu daur ulang milik Fariz RM. Ia pun tampil dalam lagu ini dengan permainan synthesizer-nya yang menonjol. Mendengarkan lagu ini seketika terbayang serunya jika kedua gabungan beda generasi ini tampil di atas panggung, berinteraksi dengan melodi. Lagu dengan aransemen lebih santai ada di “Rented Room” (walau di akhiri dengan semacam intro dengan tempo lebih cepat) dan “Kisah dari Selatan Jakarta”. Mendengarkan keduanya dengan permainan kibor dan gitar yang meliuk santai, vokal utama dan vokal latar yang dilantunkan perlahan memberikan suasana sore yang teduh setelah berjalan dengan panas matahari seharian. Pada lagu “Vakansi” meski aransemennya santai tapi masih terasa gemuruh keceriaan yang mengajak pendengar juga pekerja keras untuk melepaskan rutinitas sejenak untuk merasakan pantai, angin bertiup, nyiur melambai sambil berjalan kaki dan mengobrol. Petikan gitar elektrik Oele Pattiselanno ditonjolkan disini.

Eksperimen selain terdapat pada lagu pertama juga terdengar di lagu “Sans Titre”. Cuma ada seorang perempuan dengan percakapan Perancisnya diiringi petikan gitar, kibor, synthesizer dan latar vokal. Ada keresahan yang terpancar dari nada “perempaun Perancis” tersebut dan aransemen yang semakin “tidak beraturan” di penghujung lagu. Irama drum yang lebih ramai diiringi oleh efek “clap hands” dan riuh teriakan dan vokal latar ada di lagu “Hacienda”, sebuah lagu yang penuh semangat. sementara lagu yang terdengar paling “jenaka” dengan lirik perpaduan antara Bahasa Inggris dan Bahasa Irian Jaya (sepertinya) dengan logat yang dibuat tak lepas dari “mother tongue” ada di lagu “Matahari”. Irama lokal daerah Timur Indonesia itu pun langsung terasa, walau tidak terlalu dominan.

Senang sekali mendengar perpaduan apik dan kaya harmoni dari permainan gitar akustik dan elektrik Yusmario Farabi dan Saleh Husein, bas dan cello oleh Ricky Surya Virgana, lalu kibor, synthesizer dan lainnya oleh Aprimela Prawidiyanti, serta drum juga perkusi oleh John Navid. Vokal Aprilia Apsari yang sederhana tanpa banyak dinamika membuat suasana vintage makin terasa di lagu-lagu WSATCC. Dan tak kalah penting lirik yang kuat dengan nuansa tempo dulu, seperti dalam frasa; batara surya, jejaka, dara nan ayu, titisan dukalara, makmur sejahtera, bahagia sentosa, nestapa, dan lainnya yang tersebar di sepanjang lagu-lagu beraroma jazz penuh eksplorasi ini.

Seluruh lagu diaransemen sendiri oleh WSATCC, sementara hampir semua lirik ditulis oleh Aprilia Apsari, dan beberapa lagu ditulis oleh beberapa sahabat seperti Ade Firza Paloh, Oomleo (yang mempersembahkan lagu “Kisah dari Selatan Jakarta” untuk mendiang Ayahnya), Saleh Husein, dan David Tarigan. Walaupun sebenarnya tidak semua lirik bertema “liburan”, mendengarkan “Album Vakansi” dengan aransemennya yang cerah adalah pelepasan dari rutinitas dengan tamasya musim panas.

[Event] Diskusi “Musik Jazz dan Anak Muda”

Sudah beberapa tahun ini, acara Jazz Buzz rutin diselenggarakan oleh Salihara. Sebuah acara yang mempertemukan musisi jazz muda dan senior serta para pecinta jazz di sekitar ibukota. Seperti biasa, sebelum Jazz Buzz dimulai, selalu ada diskusi yang mengawalinya. Seperti Rabu lalu, tanggal 11 Februari 2015, dengan tema diskusi “Musik Jazz dan Anak Muda”. Acara diskusi santai dimulai pukul 19:30, dimoderatori oleh Widyasena, sang promotor Java Jazz Festival, dengan narasumber Adib Hidayat (Editor In Chief Rolling Stone Indonesia) dan Aldo Sianturi (konsultan bisnis musik dan manajer Believe Digital).

Diskusi dimulai dengan sedikit ulasan oleh Widyasena dari diskusi pada Jazz Buzz tahun lalu tentang100_5694 pentingnya sekolah musik dan festival bagi musik jazz. Lalu ia mengajukan sebuah pertanyaan pada Adib Hidayat; selain sekolah musik dan festival, apa lagi faktor yang penting untuk musik jazz? Adib Hidayat menjawab bahwa album sebagai warisan dari musisi jazz itu sendiri tak kalah penting tentunya. Walaupun banyak musisi jazz yang membuat album tidak lagi murni sepenuhnya jazz. Ada crossover. Misalnya Andien dan Maliq & The Essentials yang telah mencampur akar jazz nya dengan berbagai genre lain. Selain untuk eksplorasi bermusik juga untuk kepentingan industri. Seperti festival musik jazz yang tidak lagi dipenuhi oleh musisi jazz, tapi juga musisi genre lain sebagai pemancing.

Sementara kaitannya dengan “jualan musik jazz”, Aldo Sianturi yang akrab dengan industri musik digital mengungkapkan bahwa yang terpenting sebagai awal adalah dari sisi musisinya itu sendiri, pentingnya sadar pada “hulu” dan “footprint” karyanya. Musisi harus sadar bahwa jazz memang tidak sehingar-bingar genre lain, pop misalnya. Walaupun demikian mereka harus tetap berkarya (agar tetap ada yang bisa “dijual”). Karya tersebutlah yang akan berbicara. Karya tersebutlah yang menjadi jejak. Aldo menyebutkan beberapa musisi jazz legendaris Indonesia (seperti Nien Lesmana dan Jack Lesmana) yang susah sekali ditemukan karyanya (ia bercerita ia mendapatkan vinyl Nien Lesmana di Yogyakarta). Jika karya hilang, maka hilang pula rekam jejaknya sebagai musisi. Ia menegaskan kembali bahwa setiap musik punya jodoh (ada segmennya tersendiri). Penting untuk musisi fokus pada pilihan musiknya. Perjalanannya pun harus panjang. Sementara anak muda juga harus menggali personal connection-nya pada sejarah jazz (untuk memahami lebih dalam).

100_5697Sementara kaitannya dengan jurnalis (yang punya fokus tersendiri pada musik jazz), diakui oleh Adib Hidayat jumlahnya kurang. Jurnalis sendiri menjalani pekerjaan bisa dua sebab, yaitu hobi dan karena pekerjaan. Pengetahuan seorang jurnalis pada musik pun banyak yang masih kurang. Mereka kadang cuma mendapat pengetahuan tentang berita musik tertentu dari press kit. Sulit untuk membuat seorang jurnalis fokus pada “berita tertentu” (dalam hal ini fokus pada berita musik), sering karena posisi mereka pada suatu waktu tertentu mengalami perputaran. Misalnya, bisa saja ia sekarang wartawan musik, besoknya ia wartawan berita kriminal. Adib Hidayat juga menceritakan bahwa kebanyakan wartawan di Rolling Stone Indonesia mempunyai band. Jadi bisa dikatakan pekerjaan mereka sebagai wartawan adalah hobi. Ia menambahkan, selain para jurnalis yang wajib menggali pengetahuan mereka tentang musik (dalam hal ini jazz) sebagai bekal, referensi dan perbandingan mereka dalam menulis, penting juga adanya pelatihan bagi para jurnalis oleh dewan pers.

Selain peran jurnalis musik, kembali pada promosi dan penjualan karya musisi jazz itu sendiri, Aldo Sianturi mengatakan bahwa musisi harus bisa dan rajin berkomunikasi. Banyak jalur distribusi yang bisa dimanfaatkan oleh para musisi, seperti jalur fisik maupun digital. Ia menegaskan, digital tidak menghancurkan bentuk fisik. Apalagi di Indonesia yang tingkat konsumerisme-nya cukup tinggi, yang kadang penting untuk memegang dan mencium barang fisik yang telah dibeli. Ia menambahkan distribution population sekarang terbuka. Ia sempat menceritakan pengalamannya membeli sebuah album “Jazz Minang” dari sebuah restoran Padang. Cerita tersebut ia ibaratkan bahwa jual album musik sekarang seperti jual keripik singkong. Musisi harus bisa “membuat” distribusi channel tersendiri. Sebagai pemilik karya, musisi adalah record label itu sendiri yang harus pintar-pintar mengawal karyanya.

Selain lewat jalur penjualan album maupun lagu, pendapatan musisi terbesar saat ini adalah lewat penampilan mereka di panggung, juga dari penjualan merchandise mereka. Aldo bilang, musisi jazz tidak bisa menggunakan “news value” sebagai bahan “promosi”. Nilai yang bisa diandalkan adalah nilai (kualitas) dalam diri mereka sendiri. Ia mengingatkan bahwa musisi jazz muda saat ini jangan malu dan sungkan mengakrabi senior untuk mendapatkan semacam “legacy”.

Widyasena lalu membahas tentang “Yamaha Light Music Contest”, sebuah ajang yang telah melahirkan banyak musisi jazz ternama seperti Dewa Budjana, tapi sudah tidak ada lagi sekarang. Adib Hidayat mengatakan bahwa ajang seperti itu telah tersingkirk oleh banyaknya festival musik jazz sekarang ini (sekitar ada 50 festival jazz di berbagai daerah di tanah air). Kontes yang fokus pada musik jazz penting, tapi siapa yang mau jadi sponsor? Jika yang diselenggarakan kontes musik “pop” pasti banyak yang bisa jadi sponsor. Ia juga mengatakan bahwa jazz tidak cuma bisa tampil di ajang festival. Di kampus dan di sekolah, bagi anak muda sekarang jazz adalah hal yang keren. Ia juga membandingkan kegemaran anak muda pada jazz sekarang ini seperti halnya kegemaran pada musik metal yang selalu ramai di kala ada konser dan terlihat punya gengsi tersendiri. Menambahkan apa yang disampaikan oleh Aldo Sianturi, ia mengungkapkan bahwa media digital membuat eksistensi lebih mudah. Pendapatan musisi lewat off air juga lebih banyak. Ia juga menegaskan pentingnya merchandise bagi seorang musisi. Mereka bisa mendapatkan omset ratusan juta rupiah dari penjualan merchandise. Musisi-musisi yang sangat memperhatikan merchandise antara lain Seringai, juga beberapa band mainstream seperti Noah, Sheila On 7, dan Gigi. Ia menghimbau agar para musisi (jazz khususnya) agar lebih peduli pada merchandise selain musik mereka itu sendiri.

Lalu Aldo Sianturi membahas tentang “pekerjaan rumah” musisi jazz pada anak muda agar berita dan karya mereka bisa lebih mudah diakses. Kebanyakan musisi yang telah berkarya dan telah besar cenderung “malas” untuk melihat kembali atau kembali ke titik nol, dalam artian semacam memberikan pengetahuan, coaching dan servis pada anak muda. Para musisi juga harus kembali dan memperhatikan peran komunitas. Ia juga mengungkapkan pengamatannya terhadap beberapa musisi yang cenderung punya semangat cuma sampai launching, setelah itu terserah apa adanya. Banyak musisi yang begitu semangat dalam proses membuat karya, memposting foto lewat media sosial dan menceritakan karya mereka selanjutnya. Tapi setelah peluncuran semua semangat itu seolah usai. Aldo kembali menegaskan pentingnya mereka mengawal karya dan memikirkan strategi. Mental musisi menjadi modal yang harus dimunculkan.

Dengan pengalamnnya bergelut dalam dunia digital seperti itunes dan spotify, Aldo mengemukakan sisi positif dari digital tersebut. Dengan digital pemasaran karya musisi tidak perlu memikirkan ongkos kirim, toko pun bisa buka 24 jam. Hal yang bersifat digital bukan cuma tentang Search Engine Optimization (SEO), tapi juga tentang konten. Ia bilang, jangan takut tidak bisa survive tinggal di Indonesia. Dimanapun tinggal bisa menciptakan sales. Musisi bisa mensiasatinya dengan mencari cara berkarya secara “low budget-high impact”.

Selain diskusi yang dikawal oleh moderator dan dua narasumber, hadir juga diantara audiens Vindra, creative board “Ngayogjazz”, sebuah festival musik jazz di Yogyakarta yang telah berumur 8 tahun. Ia berbagi cerita tentang penyelenggaraan festival tahunan tersebut yang diselenggarakan untuk memberi ruang pada anak muda. Selain ada Ngayogjazz, di Yogya juga ada semacam pentas jazz seminggu sekali yang bisa digunakan semacam tempat latihan (untuk tampil lebih besar selanjutnya di panggung Ngayogjazz). Ada cerita unik tentang Ngayogjazz, dimana ketika mereka merilis album kompilasi dan dipasarkan pada sebuah stand, ada satu kampung yang kebanyakan warganya membeli album rilisan mereka. Ini membuktikan bahwa musik jazz bisa dinikmati oleh berbagai kalangan.

Sebuah pertanyaan disampaikan oleh Irsa Destiwi, seorang musisi jazz muda Indonesia tentang bagaimana musisi jazz dan media bisa satu halaman dalam menyampaikan pesan (dan memberitakan) tentang jazz? Adib Hidayat kembali menegaskan pentingnya “pendidikan jazz” bagi wartawan untuk bekalnya menulis. Selain itu juga pentingnya press release selain wartawan sendiri dengan usahanya mencari rilisan terbaru karya musisi jazz. Dalam mengenali keotentikan genre suatu musik (khususnya jazz), Anugerah Musik Indonesia (AMI) sebagai ajang award paling lama di Indonesia juga sering keliru dalam menentukan (mengkotak-kotakkan) kategorinya.

Irsya kembali menimpali tentang seharusnya jurnalis juga bisa masuk ke “lingkungan jazz”. Aldo menambahkan pentingnya sebuah tempat yang menjadi pusat rilisan karya musisi jazz. Ia merasa strategic partner, menjalin kerjasama terhadap pihak-pihak dan tempat yang bisa menjadi media untuk distribusi sering dilupakan.

Secara garis besar disimpulkan bahwa ada semacam “missing link” yang ada antara musisi dan media. Yang terjadi adalah saling tunggu terhadap informasi. Di dalam diskusi juga dibahas tentang festival-festival yang kebanyakan disediakan untuk musisi industri (yang sudah terkenal saja). Adib Hidayat mengatakan semua itu bisa menjadi pancingan agar penonton juga bisa menyaksikan musisi-musisi baru atau juga yang jauh dari hingar-bingar.

Tidak terasa, pembahasan tentang karya musisi jazz, hubungannya dengan anak muda, industri musik digital dan peran media begitu seru hingga waktu terasa cepat. Di penghujung diskusi Widyasena menyimpulkan tentang pentingnya gotong-royong antar sesama, baik musisi itu sendiri, media, dan anak muda sebagai penerus.

[Event] Bejazzled with Dira Sugandi

20150207_193238Saya mengetahui Dira Sugandi dan suaranya yang powerful dari penampilannya di sebuah stasiun TV, sebuah acara musik tentang pemilihan 50 penyanyi Indonesia terbaik dan ia meramaikan dengan menyanyikan beberapa lagu, salah satunya berjudul “Bring It On”. Saya langsung jatuh cinta dengan penampilannya, dan lagu jazz bertempo cepat itu sangat seru didengar. Ketika saya mampir ke toko musik yang saya sering singgahi, saya melihat albumnya yang berjudul “Something About The Girl”, tanpa pikir panjang saya membeli album itu. Sebuah album yang sempat beredar di berbagai negara, termasuk Inggris, dan diproduseri oleh pentolan grup “Incognito” Jean Paul ‘Bluey’ Maunick.

Pada Sabtu, 7 Januari 2015, @atamerica menggelar sebuah acara bertajuk “Bejazzled with Dira 20150207_193246Sugandi”. Sebuah acara yang mengusung penghormatan pada musisi jazz perempuan Amerika. Saya antusias sekali. Akan menjadi sebuah pertunjukkan malam Minggu yang elegan dengan Dira Sugandi di atas panggung bernyanyi lagu-lagu jazz klasik bersejarah. Dan benar saja, satu jam setengah malam itu riuh dengan kekaguman dan tepuk tangan.

Acara dimulai pukul tujuh dan penonton meluap hingga duduk di dekat panggung dan di luar teater; para pecinta jazz yang merindukan sebuah “konser” yang tidak main-main dan berkesan. Lalu para personil band pengiring masuk dan mulai fokus pada instrumen masing-masing. Piano, double bass, drum, trumpet dan tenor saxophone mulai bersenandung dan berdialog dalam nada. Suasana harmonis dan nyaman langsung terasa. Lalu muncullah yang ditunggu, Dira Sugandi dengan penampilan anggun dan elegan.

20150207_193507Sekitar sepuluh lagu yang disajikan, semuanya adalah karya dari musisi jazz perempuan legendaris Amerika diantaranya Diana Washington, Sarah Vaughan, Billie Holiday, Nancy Wilson dan Ella Fitzgerald. Di sela usai lagu, Dira membacakan latar dan sejarah perempuan di dalam jazz, peran besarnya dan quotes yang terkait. Meski kadang terasa kaku karena tekstual, tapi tak apalah. Penonton datang untuk mendengar merdu Dira menyanyi.

Suara Dira begitu pas dan terkendali pada tiap lagu yang dinyanyikannya, meliuk dan menggoda telinga audiens yang mendengar. Hingga membuat penonton tersenyum, tenggelam dalam lagu, menggoyangkan badan, menganggukkan kepala dan turut bernyanyi sesekali. Penonton terserap dalam penghayatan Dira. Ia memejamkan mata, tersenyum renyah, kadang menatap lembut dan lirih untuk menghayati lagu. Bahkan ia menitikan air mata ketika menyanyikan lagu berjudul “Gloomy Sunday” milik Billie Holiday yang terdengar sendu. Sebuah lagu yang tercipta di masa perang. Ia bilang, tidak terbayang hidup pada masa itu. Tak pelak tepuk tangan pun bersambut di setiap lagu.

Bicara musik jazz dan aksi panggung, tidak lepas dari improvisasi yang sering ditonjolkan begitu luwes20150207_193307 selain oleh sang penyanyi juga oleh band pengiring. Improvisasi yang sangat terasa ada di lagu “Body and Soul” milik Sarah Vaughan yang belum lama dipopulerkan kembali oleh Tony Bennett dan Amy Winehouse. Lagu lawas dengan tempo lambat dibawakan kembali dengan instrumen yang lebih menghentak dan tempo lebih cepat. Di tengah penampilan, Dira memperkenalkan musisi-musisi yang menemaninya malam itu. Ada pianis muda Sri Hanuraga, pemain double bass Indra Perkasa, Peniup trumpet Indra Dauna, peniup tenor sax Ricad Hutapea, dan tentunya suami tercinta Dira, Elfa Zulham yang bermain drum. Mereka bermain begitu harmonis dengan piawai dan gaya improvisasi masing-masing. Bersahutan dan bercakap dengan melodi. Manis sekali terdengar. Masuknya vokal Dira membuat kesatuan penampilan tersebut seperti puzzle yang rekat dan utuh. Dan penyusunan puzzle itu terkesan effortless. Skill mereka dan chemistry satu sama lain membuat panggung tersebut seperti makanan sehari-hari. Keakraban mereka makin terasa ketika mereka saling melempar candaan yang membuat penonton terlibat dan tertawa. Menyenangkan untuk dilihat.

Dira dan band juga mengajak penonton ikut terlibat di sebuah lagu yang berjudul “Tisket Tasket” pada penghujung penampilan mereka. Kami antusias saling berkomukasi dengan nada dan lirik. Walaupun cuma sedikit tapi seru. Tapi sayang sekali, mini konser tersebut harus usai. Penonton kembali riuh dengan seruan kagum dan tepuk tangan cukup lama sebagi penutup. Penampilan harmonis seperti ini akan selalu diingat dan dirindukan.

[Event] #BeNiceToEachOther – Bonita & The Hus BAND Chapter 1 Tour

Embedded image permalinkRabu, 4 Februari 2015, Bonita & The Hus BAND memulai bab pertama tur musik mereka di tahun ini. Mini konser yang mereka beri tajuk #BeNiceToEachOther ini dimulai di Tjikini, sebuah cafe yang elegan di daerah Cikini, Menteng. Ruangan cafe yang minimalis membuat penampilan Bonita & The Hus BAND begitu dekat dan interaktif. Apalagi interaksi antar Bonita, anggota band yang lain; Petrus Briyanto Adi, Bharata Eli dan Jimmy Tobing yang melibatkan penonton begitu luwes hingga suasana konser begitu akrab. Mereka pun tak sungkan menyapa para penonton dan juga kerabat yang mereka kenal di tengah penampilan, bahkan Bonita memesan langsung minuman yang letaknya dekat dengan tempat ia menyanyi. Menyenangkan sekali menonton sebuah konser seperti ini.

Sebelum Bonita & The Hus BAND tampil, mini konser dibuka oleh duo yang sempat mengisi soundtrack film “Sokola Rimba”, Bubugiri. Mereka tampil membawakan lagu-lagu yang akan masuk ke dalam album pertama mereka yang diproduseri oleh Endah N Rhesa dan juga medley lagu-lagu Michael Jackson dengan gaya akustik dan sedikit sentuhan beatbox. Meskipun mereka tampil hanya dengan sebuah gitar dan dinamika suara, atraksi gitar Setiagiri dan liukan vokal Bubu begitu enerjik dan mengundang riuh kagum penonton. Ada semangat yang mereka sebar untuk album pertama dan peta musik mereka ke depan.

Setelah Bubugiri tampil, tanpa jeda panjang Bonita & The Hus BAND langsung berada di depan para 20150204_204839penonton yang telah bersiap untuk suguhan berupa vokal Bonita yang terkenal kuat, permainan gitar Petrus Briyanto Adi, tabuhan perkusi Bharata Eli Gulo dan hembusan saxophone Jimmy Tobing. Santai dan sederhana. Tapi bersiaplah untuk terpukau.

Benar saja. Sekitar sepuluh lagu yang dihidangkan Bonita & The Hus BAND dari album terbaru mereka yang berjudul “Small Miracles”, juga dari album solo kedua Bonita “Laju” sampai lagu cover milik Stevie Wonder dan Ben E. King, tidak ada yang meleset dari kekaguman saya pribadi. Penonton yang lain pun dibuat menganggukkan kepala mereka, menghentakkan kaki dan menggoyangkan badan dengan asyik. Tepuk tangan dan mata yang takjub bertaburan pada tiap lagu yang usai disuguhkan. Saya berkali-kali merinding mendengar dan menyaksikan sendiri kekuatan vokal Bonita yang begitu luas dan20150204_214836 terkendali dengan begitu baik dan mengehentak, seperti di lagu “You Cheer Me Up” dan “Ain’t Gonna Fall” yang begitu ekspresif. Walaupun ia beberapa kali terbatuk karena mungkin kondisi yang kurang fit, itu tidak mempengaruhi vokalnya sama sekali. Rasa takjub pun tak lepas dari indahnya tiupan saxophone Jimmy Tobing, asyiknya petikan gitar Adoy, dan serunya ritme tabuhan perkusi Bharata Eli. Apalagi ketika ada interaksi dengan permainan gitar dari Setiagiri di penghujung acara, sebuah kemesraan musik yang begitu nikmat untuk disaksikan.

Tur musik bab pertama ini masih akan berlangsung di enam tempat berikutnya selama Februari; Tapas 20150205_111641[1]De Espana di Central Park, Earhouse Pamulang, Ruangrupa Tebet, Teras Kota, Sub Store Pasar Santa, dan Carburator Spring Bintaro. Tur dengan tema #BeNiceToEachOther ini punya pesan yang sangat hangat. Sederhananya, mari berbuat baik pada sesama. Hal ini telah dicontohkan sendiri oleh Bonita & The Hus BAND yang begitu hangat pada para peminatnya, rasa terima kasih yang mereka sampaikan dengan antusias, senyum yang lepas, pengumpulan mainan dan buku yang mereka galakan dan jabatan tangan yang erat. You cheer me up!

[Resensi Album] LAJU – BONITA

laju-cover-bangwinissimoTahun 2009 lalu telah dirilis sebuah album dari seorang diva yang jauh dari hingar bingar popularitas mainstream. Album yang diberi judul “Laju” oleh penyanyi dengan suara lembut di satu sisi, dan begitu kuat di sisi lain, Bonita.

Cukup jauh jarak Bonita merilis album solo keduanya ini dari rilisan album pertama yang dikeluarkan tahun 2003. Kali ini ia memilih jalur indie atas nama “rumahbonita” dengan distribusi oleh “Demajors”. Ada rasa syukur tersendiri jika seorang penyanyi dan musisi seperti Bonita memilih jalur indie. Ia tentu bisa lebih bebas berpetualang dengan kualitas musiknya dibanding harus bermain di ranah major label yang menuntut karya itu-itu saja.

Album ini bersisi 16 lagu. Jumlah yang sangat banyak untuk album Indonesia, apalagi bukan kategori album “The Best of…”. Banyaknya jumlah lagu dalam album ini tidak lantas membuat pendengar jenuh. Jangan sepelekan kualitas musik yang dimiliki Bonita, mengingat ia tumbuh di tengah keluarga pemusik dan bergelut dengan musik sejak kecil.

Album ini disajikan dengan gaya yang terasa minimalis dan menenagkan, tapi kaya dengan berbagai 20150119_152237nada dan bunyi-bunyian. Irama nylon guitar, synthesizer, bass dan drum tersebar hampir di seluruh lagu, merefleksikan irama folk dan jazz yang lembut. Suara akordeon terdengar begitu indah di lagu “Komidi Putar” yang bergaya seperti irama sirkus. Lagu ini juga terdapat di dalam albus original soundtrack “Sang Pemimpi”. Sangat cocok merepresentasikan imajinasi rakyat biasa. Irama kecapi Cina (guzheng) juga terdengar meliuk-liuk dan menggoda di lagu ini, juga di lagu “Pengulangan”. Irama lain yang begitu menonjol dalam album ini adalah slide guitar di lagu pembuka yang berjudul “Rumahku” hingga membuat lagu ini sedikit beraroma country. Cellos di lagu “Dendangku” juga cukup tebal. Flutes, djembe dan doumbek begitu riang terdengar di lagu “Bangun” sesuai dengan isi lagu tersebut yang terdengar begitu bersemangat. Permainan drum (oleh Titi Sjuman) yang sangat terasa berada di lagu “Mellow”. Sementara di lagu “Ari” aura bossanova dan irama glockenspiel mengajak pendengar menggoyangkan kepalanya dengan khidmat. Aransemen yang paling ramai ada di lagu “You Cheer Me up” dan “It’s Over Now”. Jika di dalam lagu-lagu sebelumnya suara Bonita berakrobatik dengan lembut, di dua lagi ini ia menunjukkan power suaranya yang sangat unggul.

Di lagu “You Cheer Me Up” suara Bonita terdengar bergaya soul dan funk, meliuk bersama saxophone yang ditiup dengan atraktif oleh Indra Aziz dan irama trumphet yang tak mau kalah. Lagu “It’s Over Now” juga begitu ramai, suara Bonita yang sangat prima, dengan sentuhan gospel, soul dan funk, diiringi oleh djembe, shaker dan saxophone yang saling sahut membentuk nada yang harmonis.

Album ini juga berisi lirik-lirik yang kuat dan dalam makna yang hampir semuanya ditulis oleh Bonita. Simaklah “Rumahku”, bagaimana ia membuat pendengar mengartikan kembali arti rumah dan tempat tinggal, “Komidi Putar” yang bukan sekedar hiburan rakyat, “Telur” yang bercerita tentang kenyamanan terhadap diri sendiri, “Bangun” tentang semangat hidup dan rasa syukur, “Pena” yang menceritakan tentang kekuatan sebuah tulisan, dan lirik-lirik kaya makna lainnya.

Album ini adalah pencapaian luar biasa untuk Bonita. Tidak peduli dirilisnya melalui indie label, kualitas musiknya begitu unggul, kaya dan membanggakan. Pengalaman yang sangat menyenangkan mendengarkan album ini.