Sudah beberapa tahun ini, acara Jazz Buzz rutin diselenggarakan oleh Salihara. Sebuah acara yang mempertemukan musisi jazz muda dan senior serta para pecinta jazz di sekitar ibukota. Seperti biasa, sebelum Jazz Buzz dimulai, selalu ada diskusi yang mengawalinya. Seperti Rabu lalu, tanggal 11 Februari 2015, dengan tema diskusi “Musik Jazz dan Anak Muda”. Acara diskusi santai dimulai pukul 19:30, dimoderatori oleh Widyasena, sang promotor Java Jazz Festival, dengan narasumber Adib Hidayat (Editor In Chief Rolling Stone Indonesia) dan Aldo Sianturi (konsultan bisnis musik dan manajer Believe Digital).
Diskusi dimulai dengan sedikit ulasan oleh Widyasena dari diskusi pada Jazz Buzz tahun lalu tentang pentingnya sekolah musik dan festival bagi musik jazz. Lalu ia mengajukan sebuah pertanyaan pada Adib Hidayat; selain sekolah musik dan festival, apa lagi faktor yang penting untuk musik jazz? Adib Hidayat menjawab bahwa album sebagai warisan dari musisi jazz itu sendiri tak kalah penting tentunya. Walaupun banyak musisi jazz yang membuat album tidak lagi murni sepenuhnya jazz. Ada crossover. Misalnya Andien dan Maliq & The Essentials yang telah mencampur akar jazz nya dengan berbagai genre lain. Selain untuk eksplorasi bermusik juga untuk kepentingan industri. Seperti festival musik jazz yang tidak lagi dipenuhi oleh musisi jazz, tapi juga musisi genre lain sebagai pemancing.
Sementara kaitannya dengan “jualan musik jazz”, Aldo Sianturi yang akrab dengan industri musik digital mengungkapkan bahwa yang terpenting sebagai awal adalah dari sisi musisinya itu sendiri, pentingnya sadar pada “hulu” dan “footprint” karyanya. Musisi harus sadar bahwa jazz memang tidak sehingar-bingar genre lain, pop misalnya. Walaupun demikian mereka harus tetap berkarya (agar tetap ada yang bisa “dijual”). Karya tersebutlah yang akan berbicara. Karya tersebutlah yang menjadi jejak. Aldo menyebutkan beberapa musisi jazz legendaris Indonesia (seperti Nien Lesmana dan Jack Lesmana) yang susah sekali ditemukan karyanya (ia bercerita ia mendapatkan vinyl Nien Lesmana di Yogyakarta). Jika karya hilang, maka hilang pula rekam jejaknya sebagai musisi. Ia menegaskan kembali bahwa setiap musik punya jodoh (ada segmennya tersendiri). Penting untuk musisi fokus pada pilihan musiknya. Perjalanannya pun harus panjang. Sementara anak muda juga harus menggali personal connection-nya pada sejarah jazz (untuk memahami lebih dalam).
Sementara kaitannya dengan jurnalis (yang punya fokus tersendiri pada musik jazz), diakui oleh Adib Hidayat jumlahnya kurang. Jurnalis sendiri menjalani pekerjaan bisa dua sebab, yaitu hobi dan karena pekerjaan. Pengetahuan seorang jurnalis pada musik pun banyak yang masih kurang. Mereka kadang cuma mendapat pengetahuan tentang berita musik tertentu dari press kit. Sulit untuk membuat seorang jurnalis fokus pada “berita tertentu” (dalam hal ini fokus pada berita musik), sering karena posisi mereka pada suatu waktu tertentu mengalami perputaran. Misalnya, bisa saja ia sekarang wartawan musik, besoknya ia wartawan berita kriminal. Adib Hidayat juga menceritakan bahwa kebanyakan wartawan di Rolling Stone Indonesia mempunyai band. Jadi bisa dikatakan pekerjaan mereka sebagai wartawan adalah hobi. Ia menambahkan, selain para jurnalis yang wajib menggali pengetahuan mereka tentang musik (dalam hal ini jazz) sebagai bekal, referensi dan perbandingan mereka dalam menulis, penting juga adanya pelatihan bagi para jurnalis oleh dewan pers.
Selain peran jurnalis musik, kembali pada promosi dan penjualan karya musisi jazz itu sendiri, Aldo Sianturi mengatakan bahwa musisi harus bisa dan rajin berkomunikasi. Banyak jalur distribusi yang bisa dimanfaatkan oleh para musisi, seperti jalur fisik maupun digital. Ia menegaskan, digital tidak menghancurkan bentuk fisik. Apalagi di Indonesia yang tingkat konsumerisme-nya cukup tinggi, yang kadang penting untuk memegang dan mencium barang fisik yang telah dibeli. Ia menambahkan distribution population sekarang terbuka. Ia sempat menceritakan pengalamannya membeli sebuah album “Jazz Minang” dari sebuah restoran Padang. Cerita tersebut ia ibaratkan bahwa jual album musik sekarang seperti jual keripik singkong. Musisi harus bisa “membuat” distribusi channel tersendiri. Sebagai pemilik karya, musisi adalah record label itu sendiri yang harus pintar-pintar mengawal karyanya.
Selain lewat jalur penjualan album maupun lagu, pendapatan musisi terbesar saat ini adalah lewat penampilan mereka di panggung, juga dari penjualan merchandise mereka. Aldo bilang, musisi jazz tidak bisa menggunakan “news value” sebagai bahan “promosi”. Nilai yang bisa diandalkan adalah nilai (kualitas) dalam diri mereka sendiri. Ia mengingatkan bahwa musisi jazz muda saat ini jangan malu dan sungkan mengakrabi senior untuk mendapatkan semacam “legacy”.
Widyasena lalu membahas tentang “Yamaha Light Music Contest”, sebuah ajang yang telah melahirkan banyak musisi jazz ternama seperti Dewa Budjana, tapi sudah tidak ada lagi sekarang. Adib Hidayat mengatakan bahwa ajang seperti itu telah tersingkirk oleh banyaknya festival musik jazz sekarang ini (sekitar ada 50 festival jazz di berbagai daerah di tanah air). Kontes yang fokus pada musik jazz penting, tapi siapa yang mau jadi sponsor? Jika yang diselenggarakan kontes musik “pop” pasti banyak yang bisa jadi sponsor. Ia juga mengatakan bahwa jazz tidak cuma bisa tampil di ajang festival. Di kampus dan di sekolah, bagi anak muda sekarang jazz adalah hal yang keren. Ia juga membandingkan kegemaran anak muda pada jazz sekarang ini seperti halnya kegemaran pada musik metal yang selalu ramai di kala ada konser dan terlihat punya gengsi tersendiri. Menambahkan apa yang disampaikan oleh Aldo Sianturi, ia mengungkapkan bahwa media digital membuat eksistensi lebih mudah. Pendapatan musisi lewat off air juga lebih banyak. Ia juga menegaskan pentingnya merchandise bagi seorang musisi. Mereka bisa mendapatkan omset ratusan juta rupiah dari penjualan merchandise. Musisi-musisi yang sangat memperhatikan merchandise antara lain Seringai, juga beberapa band mainstream seperti Noah, Sheila On 7, dan Gigi. Ia menghimbau agar para musisi (jazz khususnya) agar lebih peduli pada merchandise selain musik mereka itu sendiri.
Lalu Aldo Sianturi membahas tentang “pekerjaan rumah” musisi jazz pada anak muda agar berita dan karya mereka bisa lebih mudah diakses. Kebanyakan musisi yang telah berkarya dan telah besar cenderung “malas” untuk melihat kembali atau kembali ke titik nol, dalam artian semacam memberikan pengetahuan, coaching dan servis pada anak muda. Para musisi juga harus kembali dan memperhatikan peran komunitas. Ia juga mengungkapkan pengamatannya terhadap beberapa musisi yang cenderung punya semangat cuma sampai launching, setelah itu terserah apa adanya. Banyak musisi yang begitu semangat dalam proses membuat karya, memposting foto lewat media sosial dan menceritakan karya mereka selanjutnya. Tapi setelah peluncuran semua semangat itu seolah usai. Aldo kembali menegaskan pentingnya mereka mengawal karya dan memikirkan strategi. Mental musisi menjadi modal yang harus dimunculkan.
Dengan pengalamnnya bergelut dalam dunia digital seperti itunes dan spotify, Aldo mengemukakan sisi positif dari digital tersebut. Dengan digital pemasaran karya musisi tidak perlu memikirkan ongkos kirim, toko pun bisa buka 24 jam. Hal yang bersifat digital bukan cuma tentang Search Engine Optimization (SEO), tapi juga tentang konten. Ia bilang, jangan takut tidak bisa survive tinggal di Indonesia. Dimanapun tinggal bisa menciptakan sales. Musisi bisa mensiasatinya dengan mencari cara berkarya secara “low budget-high impact”.
Selain diskusi yang dikawal oleh moderator dan dua narasumber, hadir juga diantara audiens Vindra, creative board “Ngayogjazz”, sebuah festival musik jazz di Yogyakarta yang telah berumur 8 tahun. Ia berbagi cerita tentang penyelenggaraan festival tahunan tersebut yang diselenggarakan untuk memberi ruang pada anak muda. Selain ada Ngayogjazz, di Yogya juga ada semacam pentas jazz seminggu sekali yang bisa digunakan semacam tempat latihan (untuk tampil lebih besar selanjutnya di panggung Ngayogjazz). Ada cerita unik tentang Ngayogjazz, dimana ketika mereka merilis album kompilasi dan dipasarkan pada sebuah stand, ada satu kampung yang kebanyakan warganya membeli album rilisan mereka. Ini membuktikan bahwa musik jazz bisa dinikmati oleh berbagai kalangan.
Sebuah pertanyaan disampaikan oleh Irsa Destiwi, seorang musisi jazz muda Indonesia tentang bagaimana musisi jazz dan media bisa satu halaman dalam menyampaikan pesan (dan memberitakan) tentang jazz? Adib Hidayat kembali menegaskan pentingnya “pendidikan jazz” bagi wartawan untuk bekalnya menulis. Selain itu juga pentingnya press release selain wartawan sendiri dengan usahanya mencari rilisan terbaru karya musisi jazz. Dalam mengenali keotentikan genre suatu musik (khususnya jazz), Anugerah Musik Indonesia (AMI) sebagai ajang award paling lama di Indonesia juga sering keliru dalam menentukan (mengkotak-kotakkan) kategorinya.
Irsya kembali menimpali tentang seharusnya jurnalis juga bisa masuk ke “lingkungan jazz”. Aldo menambahkan pentingnya sebuah tempat yang menjadi pusat rilisan karya musisi jazz. Ia merasa strategic partner, menjalin kerjasama terhadap pihak-pihak dan tempat yang bisa menjadi media untuk distribusi sering dilupakan.
Secara garis besar disimpulkan bahwa ada semacam “missing link” yang ada antara musisi dan media. Yang terjadi adalah saling tunggu terhadap informasi. Di dalam diskusi juga dibahas tentang festival-festival yang kebanyakan disediakan untuk musisi industri (yang sudah terkenal saja). Adib Hidayat mengatakan semua itu bisa menjadi pancingan agar penonton juga bisa menyaksikan musisi-musisi baru atau juga yang jauh dari hingar-bingar.
Tidak terasa, pembahasan tentang karya musisi jazz, hubungannya dengan anak muda, industri musik digital dan peran media begitu seru hingga waktu terasa cepat. Di penghujung diskusi Widyasena menyimpulkan tentang pentingnya gotong-royong antar sesama, baik musisi itu sendiri, media, dan anak muda sebagai penerus.